Selasa, 03 April 2012

Epidemiologi Difteri


PENYAKIT DIFTERI
LATAR BELAKANG

          Penyakit yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi (PD3I) seperti TBC, Diphteri,Pertusis, Campak, Tetanus, Polio, dan Hepatitis B merupakan salah satu penyebab kematian anak di negara-negara berkembang termasuk Indonesia. Diperkirakan1,7 juta kematian pada anak atau 5% pada balita di Indonesia adalah akibat PD3I.
1.PENGERTIAN

          Difteri adalah infeksi akut yang disebabkan oleh Corynebacterium Diphteriae. Infeksi biasanya terdapat pada faring, laring, hidung dan kadang pada kulit, konjungtiva, genitalia dan telinga. Infeksi ini menyebabkan gejala-gejala lokal dan sistemik, efek sistemik terutama karena eksotoksin yang dikeluarkan oleh mikroorganisme pada tempat infeksi.
2.ETIOLOGI

Penyebab difteri adalah Corynebacterium Diphteriae.Organisme tersebut paling mudah ditemukan pada media yang mengandung penghambat tertentu yang memperlambat pertumbuhan mikroorganisme lain (tellurite). Koloni-koloni Corynebacterium Diphteriae berwarna putih kelabu pada medium Loeffler.
Pada media tellurite dapat dibedakan 3 tipe koloni :
1.koloni mitis yang halus, berwarna hitam dan cembung; 2.koloni gravis yang berwarna kelabu dan setengah kasar, 3.koloni intermedius berukuran kecil, halus serta memiliki pusat berwarna hitam.
3.EPIDEMIOLOGI

          Difteri tersebar di seluruh dunia, tetapi insiden penyakit ini menurun secara mencolok setelah penggunaan toksoid difteri secara meluar. Umumnya masih tetap terjadi pada individu-individu yang berusia kurang dari 15 tahun (yang tidak mendapatkan imunisasi primer). Bagaimanapun, pada setiap epidemi insidens menurut usia tergantung pada kekebalan individu. Serangan difteri yang sering terjadi, mendukung konsep bahwa penyakit ini terjadi di kalangan penduduk miskin yang tinggal di tempat berdesakan dan memperoleh fasilitas pelayanan kesehatan terbatas. Kematian umumnya terjadi pada individu yang belum mendapatkan imunisasi.
4.JENIS-JENIS DIFTERI

a.Difteri Tonsil dan Faring

          Gejala biasanya tidak khas berupa malaise, anoreksia, sakit tenggorok dan demam. Difteri tonsil dan faring khas ditandai dengan adanya adenitis / periadenitis cervical, kasus yang berat ditandai dengan bullneck (limfadenitis disertai edema jaringan lunak leher). Suhu dapat normal atau sedikit meningkat tetapi nadi biasanya cepat.
Pada kasus ringan membran biasanya akan menghilang antara 7-10 hari dan penderita tampak sehat. Pada kasus sangat berat ditandai dengan gejala-gejala toksemia berupa lemah, pucat, nadi cepat dan kecil, stupor, koma dan meninggal dalam 6-10 hari. Pada kasus sedang penyembuhan lambat disertai komplikasi seperti miokarditis dan neuritis.
IMG03686-20120316-1218.jpg
Gb.1.1.Difteri pada tonsil dan faring
B.Difteri Hidung
          Kira-kira 2% kasus difteri dan gejalanya paling ringan. Biasanya ditandai oleh adanya sekret hidung dan tidak khas. Sekret ini biasanya menempel pada septum nasi, absorpsi toksin dari tempat ini cepat menghilang dengan pemberian antitoksin, bila tidak diobati maka sekret akan berlangsung berminggu-minggu dan merupakan sumber utama penularan. Bentuk penyakit ini paling sering ditemukan pada bayi.
IMG03685-20120316-1217.jpg
Gb.1.2. Difteri pada hidung
C.Difteri Laring
         
          Kebanyakan merupakan penjalaran dari difteri faring. Tetapi kadang-kadang berdiri sendiri. Penyakit ini disertai panas dana batuk serta suara serak.
Pada kasus ringan dengan pemberian antitoksin gejala obstruksi akan hilang dan membran hilang pada hari 6-10. Pada kasus sangat berat penyumbatan diikuti dengan anoksemia yang ditandai dengan gelisah, sianosis, lemah, koma dan meninggal.
d.Difteri Lain
          Dapat terjadi diluar saluran nafas seperti kulit, konjungtiva, telinga dan vulvovaginal dapat terkena infeksi bakteri.
-Difteri kulit, ditandai ulkus berbatas jelas dengan dasar membran putih/abu-abu.
-Difteri konjungtiva, mengenai konjungtiva palpebra yang ditandai edema dan adanya membran di konjungtiva palpebra.
-Difteri telinga, ditandai dengan adanya cairan mukopurulen yang persisten.
-Difteri vulvovaginal, ditandai dengan ulkus dengan batas jelas.
5.Diagnosis

      Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala dan hasil pemeriksaan fisik (pseudomembran). Untuk memperkuat diagnosis. Dilakukan pemeriksaan pada faring dan dibuat biakan di laboratorium. Untuk melihat kelainan jantung, bisa dilakukan pemeriksaan EKG.
6.Komplikasi
         
          Racun difteri bisa menyebabkan kerusakan pada jantung, sistem saraf, ginjal ataupun organ lainnya:
-  Miokarditis bisa menyebabkan gagal jantung.
-  Kelumpuhan saraf atau neuritis perifer menyebabkan gerakan menjadi tidak terkoordinasi dan gejala lainnya (timbul dalam waktu 3-7 minggu).
-  Kerusakan saraf yang berat bisa menyebabkan kelumpuhan.
-  Kerusakan ginjal (nefritis).
7.Pencegahan
       
        Imunisasi dasar di mulai pada umur 3 bulan di lakukan 3 kali berturut-turut dengan selang waktu 1 bulan.biasanya di berikan bersama-sama toksoid tetanus dan basil B.pertusis yang telah di matikan sehingga di sebut tripel vaksin DTP dan diberikan dengan dosis 0,5 ml subcutan atau intramuskular .vaksinasi ulang dilakukan 1 tahun sesudah suntikan terakhir dari imunisasi dasar atau kira-kira umur 1 ½ -2 tahun dan pada umur 5 tahun.selanjutnya setiap 5 tahun sampai dengan usia 15 tahun hanya di berikan vaksin difteri dan tetanus (vaksin DT) atau apabila ada kontak dengan penderita difteri.

nyokkk,, monggo diomment klo ada yang kurang jelas :)
     

1 komentar: